TOPENG BLANTEK DI KAMPUNG BETAWI
(STUDI KASUS : SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG)
SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora
Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008
KONSENTRASI ASIA TENGGARA
PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1437 H/ 2016 M.
BAB
III
SENI
TOPENG BLANTEK
A. Pengertian
Topeng dan Blantek
Sebelum membahas
sejarah tentang Topeng Blantek disini sebenernya ada pemisahan kata
makna yaitu Topeng dan Blantek yang masing-masing memiliki arti tersendiri
yaitu:
Topeng adalah alat
penutup muka, pada umumnya dibuat dari kayu atau kertas, menyerupai muka orang
atau makhluk lain. Untuk keperluan seni pertunjukan pembuatan topeng mempunyai
dua tujuan. Pertama, topeng dapat mengaktualisasikan jalan ceritanya lebih
sempurna. Misalnya untuk menggambarkan tokoh
baik. Topengnya diberikan warna putih, sedangkan untuk tokoh ganas
warna merah yang cocok, dan untuk penjahat warna hitam yang umumnya dipakai.
Disamping warna juga diberikan lukisan muka, misalnya untuk tokoh kesatria
matanya kecil, hidung mancung, mulut kecil, sedangkan untuk tokoh raksasa
matanya besar, hidungnya besar dan lebar, mulutnya lebar sampai gigi-giginya
nampak seram. Kedua, para pemain pertunjukan dapat “menyembunyikan” diri di
balik topeng, karena dengan memakai topeng maka penonton tidak mengenenal
siapa yang memakai topeng
tersebut.
Dengan demikian, maka
pemainnya lebih bebas menjalankan tugas permainan dan penonton tidak mudah
sentiment terhadap pemain itu sendiri. Agar sebuah topeng tidak mudah terlepas
dari pemakainya, ada tali yang mengikatkan topeng kebelakang. Disamping itu ada
juga semacam lidah yang digigit oleh pemakainya, bila berbicara terpaksa topeng
diangkat sedikit. Untuk lebih bebas lagi bila topeng dibuat setengah (sampai
atas mulut).
Topeng awalnya
diciptakan untuk keperluan upacara religi, sehingga roh dewa atau mahluk halus
lainnya yang mukanya tentu lain dari manusia biasanya dapat di ekspresikan
dengan baik. Masing-masing daerah memiliki model topeng sendiri dalam menggambarkan tokoh yang
dimainkan. Dalam perkembangannya kemudian, topeng menjadi pertunjukan, sehingga
gambar topengnya perlu lebih menarik, membuat orang
bergembira, bukan lagi harus ditakuti seperti pada masa lalu.[1]
Penulis menemukan
perbedaan dalam mengartikan sebuah Topeng, dalam buku yang saya baca bahwa
Topeng adalah sejenis drama rakyat yang memakai kejadian rumah
tangga sehari-sehari sebagai themanya dengan penekan pada humor.
Istilah Topeng dipakai,
karena sebelum pertunjukan dimulai selalu muncul seorang penari yang
menari-nari membawakan tarian-tarianya,
yang kemudian disusul oleh seorang laki-laki. Biasanya yang laki-laki bertanya,
“Ade ape sih?”, yang dijawab dengan,”Gue lagi nopeng” oleh penari wanita itu,
lalu dimulailah pertunjukan Topeng Blantek atau juga bias disebut Topeng
Betawi.
Bahasa yang dipakai dalam
pertunjukan Topeng ialah bahasa Betawi Ora, yaitu bahasa yang dipergunakan oleh
masyarakat Betawi didaerah pinggiran yang sedikit agak berbeda dengan Betawi di
Jakarta Pusat. Pakaian yang dipergunakan oleh para pemainnya pakaian biasa,
yaitu pakaian yang dikenakan atau dipakai sehari-sehari, dengan maksud agar
mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. panggung yang dipakai berbentuk area,
tanpa alat-alat rumah tangga sama sekali. Tetapi ditengah-tengah area tersebut
terdapat sebuah tiang dengan tiga
buah lampu minyak dan disekitar tempat itulah pertunjukan dipentaskan.[2]
Dalam perkembanganya
hingga kini memang pertunjukan topeng masih dipentaskan, khususnya
di daerah Jakarta pinggiran. Karena terpengaruh oleh kebudayaan sunda,
maka pertunjukan Topeng Blantek ini memakai gamelan dan lagu-lagu Sunda dengan
campuran bahasa Betawi Ora.[3]
Sedangkan untuk
kata blantek ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari
bunyi-bunyian musik yang mengiringinya. Yaitu satu rebana biang, dua rebana
anak dan satu kecrek yang menghasilkan bunyi, blang blang crek.
Namun, karena lidah lokal ingin enaknya saja dalam penyebutan maka muncullah istilah blantek. Namun, ada juga
pandangan dari beberapa tokoh Betawi bahwa kata Blantek merupakan bunyi dari
rebana biang dan alat sederhana seperti kayu yaitu “berbunyi blang dan tek”.
Yahya Andi Saputra
mengatakan bahwa “Penamaan Topeng Blantek itu diberikan karena pertunjukan
tersebut dahulunya menggunakan alat-alat : seperti rebana dan kayu. Jika rebana
biang berbunyi blang dan kayu berbunyi tek jadi blang tek atau blantek. Oleh
sebab itu dinamakanlah menjadi Topeng Blantek”.[4] Atik Soepandi juga menjelaskan bahwa
asal-muasal penamaan Blantek, yaitu dari nama rebana biang dan rebana kotek.[5]Seiring
perkembangan waktu penggunaan rebana biang bergeser pada alat-alat tradisional
lain yang digunakan sebagai pengiring Topeng Blantek seperti gamelan, kromong,
gong, gendang dan lain-lain, sehingga rebana biang jarang digunakan oleh para
seniman.
Pendapat lainnya
mengatakan, asal nama blantek berasal dari Inggris, yaitu blindtexs,
yang berarti buta naskah. Marhasan (55),[6] mengatakan
permainan blantek dahulu kala tidak memakai naskah dan sutradara hanya
memberikan gagasan-gagasan garis besar cerita yang akan dimainkan.
Istilah Blantek dalam
kesenian ini adalah campur aduk, tidak karuan, tidak semestinya atau masih
dalam tahap belajar. Blantek dalam arti tidak karuan campur aduk dan tidak
semestinya didasari oleh anggapan bahwa kesenian ini dalam penyajiannya
memasukkan unsur-unsur kesenian lain seperti rebana, ketuk tilu, dan topeng.
Munculnya Blantek berawal dari keisengan bocah angon. Bocah angon merupakan
penyebutan untuk anak yang sedang pergi mengembala ternak. Anak pengembala yang
sedang istirahat itu kemudian iseng iseng main Topeng Blantek. Perkembangan
Kesenian blantek pada awalnya diakui sebagai teater topeng tingkat
pemula. Namun, seiring dengan perkembangannya seniman blantek, perkumpulan
blantek pun bermunculan, seperti di Ciseeng, Citayam, Bojong Gede, dan Pondok
Rajeg.[7]
[1] Supartono Widyosiwoyo, Sejarah Seni
Rupa Indonesia II, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2002)hal. 99-100.
[2] Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra,
dan Budaya Betawi, Jakarta, APPM, 2006, Hal.138-139
[3] ibid.
[4] Dikutip dari berita
jakarta : http://kampungbetawi.com/gerobog/bebulan/menelisik-topeng-betawi/ diakses 28-12-2014 15:37
[5] Atik Soepandi dkk, Topeng Blantek Betawi, Dinas
Kebudayaan DKI Jakarta : 1993. Hal. 14
[6] Seorang
Tokoh pelestari Topeng Blantek di pangker group.
[7] Tim Peneliti
Kebudayaan Betawi FIB UI, Ragam Seni Budaya Betawi, cetakan I,
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengtahuan Budaya, 2012. Hal. 99-100
Komentar
Posting Komentar