TOPENG BLANTEK DI KAMPUNG BETAWI
(STUDI KASUS : SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG)
SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora
Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008
KONSENTRASI ASIA TENGGARA
PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1437 H/ 2016 M.
1. Bahasa Masyrakat Betawi
Bahasa Betawi merupakan salah satu variasi
bahasa Melayu lokal yang berjumlah puluhan di Indonesia, sedangkan bahasa
Melayu sendiri juga hanya satu anggota dari ratusan bahasa daerah yang hidup di
Indonesia. Untuk mengenal lebih baik tempat bahasa Betawi diantara
bahasa lokal lainnya, baik sebagai salah satu anggota bahasa Melayu lokal,
maupun dalam hubungan bahasa Melayu dengan ratusan bahasa daerah
lainnya.[1]
Masyarakat Indonesia terbagi-bagi berdasarkan
kelompok-kelompok suku dan bahasa. Tiap anggota kelompok biasanya bersifat
dwibahasawan atau multibahasawan. Misalnya, orang Madura selain mengusai bahasa
Madura, juga dapat berbahasa Indonesia. Demikian juga masyarakat Jakarta,
seorang penduduk asli yang turun-temurun tidak meninggalkan Jakarta mengusai
melayu lokal, dalam hal ini Melayu Betawi.[2] Disamping itu juga bahasa nasional
Indonesia, ia juga seorang dwibahasawan.untuk sebagaian masyarakat Jakarta
pendatang, khususnya yang masih mempunyai hubungan yang jelas dengan suku
asalnya, ia masih juga menguasai bahasa sukunya atau bahasa
lokal, tempat asalnya disamping bahasa Betawi dan bahasa nasional
Indonesia, jadi ia seorang multibahasawan.
Bahasa Betawi tentu mempunyai
perbedaan dengan dialek-dialek areal Melayu lainnya, seperti dengan dialek
Melayu Manado. Lalu karena wilayah penggunaan dialek Melayu Betawi ini cukup
luas, dari Tanggerang disebelah barat, ciputat dan Gandaria disebelah selatan,
Bekasi-Tambun disebelah timur dan pantai utara Jakarta di sebelah utara, maka
bahasa Betawi ini pun mempunyai perbedaan baik dalam lafal maupun
dalam sejumlah kosakata.seperti dalam tabel berikut :
Bentuk Kata
|
Pelafalan
|
Dekat
|
Deket
|
Apa
|
apa, ape, apah
|
Murah
|
mure, mura, murah
|
Kerbau
|
kebo
|
Tapai
|
tape
|
Hitam
|
item
|
Hutan
|
utan
|
Subuh
|
subu
|
Hakim
|
Hakim
|
Kenyang
|
Kenyang
|
Beberapa macam logat[3] dan
bunyi bahasa Betawi . dewasa ini, Jakarta dan sekitarnya habis di obrak-abrik
untuk pembangunan dan penduduk Betawi sudah habis kocar-kacir dari tenmpat
semula. Namun, adanya logat-logat itu masih bisa ditemukan di sembarang tempat
di wilayah Jakarta dan sekitarnya.[4]Bahasa
Betawi tampaknya lebih sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan (kolokial)
daripada bahasa tulis. Kalau orang Betawi menulis apalagi yang bersifat formal
dia akan berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Namun bahasa lisan atau
percakapan masyarakat Betawi kita banyak mendapati bentuk-bentukkontraksi,
yakni bentuk sebagai hasil penggabungan dua buah kata atau lebih. Misalnya,
bentuk-bentuk berikut :
Bentuk Kontraksi
|
Bentuk Utuh
|
Kullima
|
pukul lima
|
Sengatuju
|
setengah tujuh
|
Sabanari
|
saban hari
|
Kanasin
|
ikan asin
|
Gakade
|
enggak ade
|
Dalam sejarah
perkembangan bahasa Betawi banyak menerima sumbangan kosakata dari bahasa Arab,
bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Cina dan bahasa-bahasa Nusantara lainnya.
Yang harus pertama diingat sebelum berbahasa percakapan non-formal daripada
bahasa percakapan formal. Percakapan non-formal. Bagi orang Betawi menggunakan
bahasa Betawi itu merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama mereka.
Pada masa pra Sumpah
Pemuda bahasa Indonesia yang masih disebut bahasa Melayu menjadi alat
komunikasi atau bahasa yang sering dipergunakan di dalam pergaulan sehari-hari
antara suku-suku bangsa Indonesia atau antara bangsa Indonesia dan bangsa asing
sehingga bahasa Melayu adalah menjadi semacam jembatan yang mengakrabkan
pergaulan dan memesrakan hubungan antara suku-suku bangsa dari berbagai daerah
Indonesia.[5]
Perkembangan selanjutnya
terdapat gaya berbahasa Indonesia dengan campuran bahasa Betawi yang disebut
"Prokem betawi". Gaya berbahasa ini tidak hanya diucapkan dalam
obrolan santai, melainkan telah masuk dalam media surat menyurat seperti gini
atau dong, sih serta kata deh. Bahkan media surat kabar yang terbit di Jakarta
pun terpengaruh juga dengan prokem Betawi.
[1] Muhadjir Ed, Bahasa
Betawi: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2000. Hal 5
[2] Ibid. hal 9
[3] Menurut
catatan Chaer 1976 dan 2009, ada empat macam variasi lafal dari empat macam
subdialek, sebut saja logat. Logat pertama dulu dituturkan oleh
penduduk Betawi daerah Petamburan dan Tanah Abang.
,mereka melafalkan bunyi {a} atau {ah} pada akhir kata menjadi bunyi
{ə}, logat yang kedua dulu dituturkan oleh penduduk Betawi di dearah
Jatinegara, Kemayoran dan Kebun Sirih. Mereka melafalkan bunyi {a} atau {ah}
pada akhir kata menjadi bunyi {è}, kemudian, logat keempat yang dulu dituturkan
oleh penduduk Betawi di daerah Karet dan Kuningan. Mereka melafalkan bunyi
{a} pada akhir kata menjadi bunyi {è} dan melafalkan bunyi {ah} pada
akhir kata menjadi bunyi {a}dan yang terakhir logat keempat dulu dituturkan di
daerah pinggiran yang sangat luas dari Tanggerang, Ciputat, Gandaria, Pondok
Gede dan Bekasi. Mereka tidak mengenal bunyi {è}.
[4] Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan
dan Kehidupan Orang Betawi, Jakarta: Masup Jakarta, 2001.hal 14-15
[5] http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/89/Bahasa-Betawi di
akses pada tanggal 29 mei 2016 04:08 pm
Komentar
Posting Komentar