TOPENG BLANTEK DI KAMPUNG BETAWI
(STUDI KASUS : SANGGAR SENI “FAJAR IBNU SENA” CILEDUG)
SKRIPSI Fakultas Adab dan Humaniora
Dengan Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
An. HAMMATUN AHLAZZIKRIYAH NIM. 1111022000008
KONSENTRASI ASIA TENGGARA
PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1437 H/ 2016 M.
1. Mata
Pencarian Masyarakat Betawi
Sumber kehidupan
masyarakat Betawi pada tempo dulu, setidaknya terjadi sebelum proklamasi
kemerdekaan, ketika kiri-kanan jalan antara Pulo Gadung sampai Bekasi masih
berupa sawah padi, ketika kiri-kanan jalan antara petojo sampai Tanggerang
masih berupa lading, ketika kiri-kanan jalan antara Cawang sampai Bogor masih
berupa lahan dengan pohon-pohon besar, ketika daerah pejompongan masih berupa
persawahan dan ketika senayan, kuningan, juga beberapa tempat lain masih berupa
pemukiman pendudukan dengan lahannya yang luas penuh ditumbuhi berbagai pohon
buah-buahan dan sebagainya.[1] Sehingga
masyarakat Betawi asli kebanyakan mencari nafkah dengan bertani dan berkebun. Hasil
tani atau hasil kebun kemudian mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Pada umumnya masyarakat
Betawi sekarang hidup mapan dan berkecukupan. Walaupun hanya tinggal sedikit
masyarakat Betawi yang berdiam di pusat kota Jakarta, beberapa diantara mereka
bahkan sudah mengenyam pendidikan tinggi, sehingga dengan demikian mereka pun
mampu meningkatkan taraf hidup dengan bekerja sebagai pegawai, bahkan menjadi
pedagang besar atau pengusaha.
A. Islam
dan Kebudayaan Betawi
1. Proses
islamisasi di masyarakat Betawi
Islam dan Betawi
merupakan hal yang tidak bias dipisahkan. Bahkan sebutan Betawi hanya bisa
digunakan oleh masyarakat Betawi penduduk asli Jakarta yang beragama Islam.
Sedangkan yang beragama Kristen secara turun menurun biasanya disebut dengan
daerah asalnya, seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga
keturunan Mardjijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan
penduduk asli beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda
Depok.[2] Penduduk
asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan Orang Selam yang
merupakan pengucapan setempat untuk Islam.[3]
Islam memang sudah hadir
dan berkembang di Jakarta setelah Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa dari
Protugis pada 22 Juni 1527, walaupun hal itu masih menjadi perdebatan karena
dibantah oleh Ridwan Saidi yang mengatakan Islam sudah adab 35 tahun sebelum
Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa. Perdebatan juga muncul bertalian dengan
proses awal pembentukan komunitas etnis Betawi, yaitu apakah mereka baru
terbentuk sejak pembanguan kembali kota pelabuhan Jayakarta ditangan
orang-orang Belana yang kemudian mereka sebut dengan Batavia ataukah jauh
sebelumnya, yaitu ketika kota pelabuhan tersebut masih disebut Sunda Kelapa dan
berada dibawah kekuasaan raja Sunda Pajajaran yang Hindu kemudian bersambung
dengan kekuasaan Banten islam, maka komunitas etnis Betawi telah lama dan
berumur tua.
Sejak abad ke-18 ada
ulama asal Batavia yang belajar mengajar di Makkah dan Madinah menggunakan kata
“Al-Batawi” dibelakang namanya, seperti Syaikh Abdurrahman al-Batawi yang
sejaman dengan ulama terkenal Muhammad Arsyad al-Banjari sekitar tahun
1710-1812.[4] Tetapi
hal itu lebih menunjukan tempat asal dari pada edentitas etnis, sebagaimana
lazimnya nama ulama Nusantara saat itu, seperti Mahfudz at- Tremasi dari
termas, bukan al-jawi yang berarti orang Jawa dan lebih berkonotasi etnik,
Hasan Mustafa al-Garuti dari Garut bukan as-Sundawi yang berarti orang Sunda
atau Abdurrauf As-Sinkili dari Singkel bukan Al-Asyihi yang berarti orang Aceh.[5] Tidak
dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang fanatic terhadap
ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan
sentiment anti Barat pada pertengahan abad ke-19 disebabkan oleh perkembangan
dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama
dan habib terkemuka Sehingga Islam pada saat itu melebar luas pada masyarakat
Betawi.
Ketaatan masyarakat
Betawi terhadap agamanya membuat Almarhum prof Hamka tertarik dan mengaguminya.
Dalam suatu seminar, yaitu “Seminar Perkembangan Islam” di Jakarta pada
tahun 1987, ia mengatakan:
“sungguhpun begitu adalah
sangat mengagumkan kita, memilik betapa teguhnya orang Betawi atau orang
Jakarta memeluk agama Islam. Selama 350 tahun itu, di antara penjajah dengan
anak negeri asli masih tetap sebagai “minyak dan air”. Telah bertemu
dalam satu botol, namun tidak bisa bercampur. Bagaimanapun keras mengaduk
minyak dalam air, sehabis adukan itu, disaat itu mereka berpisah kembali.[6]”
Hamka juga menemukan
bukti lain tentang kuatnya orang Betawi memegang agama Islam. Selama 350 tahun
dijajah Belanda tetapi jarang sekali terdengar anak Betawi yang masuk Kristen.
Kendati orang Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan tetapi
jika masuk Kristen adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa kemiskinan
mudah menjadi kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi kecuali
menjadi kafir.[7]
Islam memberi makna
eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda. Zikir,
ratib, pembacaan manakib Syaikh Saman, mauled Barjanji serta Diba. Semuanya
merupakan ekspresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diriisyhadu
bi anna muslimin[8] suatu ekspresi teoligis yang nyaris sepi dari
politik, kendati demekian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik melihat
kegigihan dan keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam, begitu pula
portugis dan penguasa inggris yang merasa khawatir terhadap perkembangan Islam
yang bisa membahayakan bagi kelangsungan penjajahan.[9]
Kemudian masyarakat
Betawi dalam beragama Islam paham mengenai Tarekat kurang berkembang di
Jakarta, di zaman Belanda walaupun zikir tidak dilarang, tetapi berkumpul
terlalu lama tidak di perbolehkan. Sedangkan untuk mengamalkan tarekat,
diperlukan waktu berkumpul yang lama. Ulama Betawi secara umum adalah bukan
penganut terekat[10].
Islam yang hadir di
Betawi lebih bermadzhab Syafi’I dan berpaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang
cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal.
Oleh karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam mordenis dan Organisasi
Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar dikalangan masyarakat Betawi karena
organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan tahayul, bid’ah dan
khurafat. Kencaman tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan tradisi
Betawi yang beberapa hal bersentuhan dengan tahayul, bid’ah dan khufarat.
Berpegang teguhnya
masyarakat Betawi dalam memegang ajaran Islam hingga kini tidak dapat
diragukan. Hal ini bisa dibuktikan ketika masyarakat Betawi menjadi sangat
terusik saat SCTV menayangkan siaran langsung Misa Natal 25 Desember 1999.
Pasalnya, masyarakat Betawi tidak bisa menerima para jemat dari “Gereja Betawi”
menggunakan busana Betawi yang juga merupakan busana muslim, yaitu baju koko
dan peci untuk pria, kebaya dan kerudung untuk wanitanya. H. Irwan Syafi’I,
saat itu ketua lembaga Kebudayaan Betawi, mengatakan bahwa dari dulu orang
Belanda jika ke gereja memakai jas dan dasi tidak memakai busanan muslim.
Terlebih nama gereja itu, menurut Sejumlah tokoh Betawi dulunya bernama Gereja
Pasunda Injil karena sebelumnya berada diwilayah Jawa Barat.[11].
Untuk konteks Islam di
Betawi, Cheng Ho juga meninggalkan jejak yang sangat penting. Memang tidak
langsung, namun jejak ini berimplikasi jauh pada pembentukan sejarah Sunda
Kelapa. Seorang anggota rombongannya, yaitu Syekh Kuro, memutuskan untuk
menyiarkan Islam diKarawang. Dari sini kemudian, penyiaran Islam ke Betawi
dilakukan. Dengan demikian, menghubungkan Islamisasi Betawi dengan Syekh Kuro
dan Cheng Ho adalah sah dan dapat dipertanggung jawabkan secara
historis.Tulisan ini hendak menelusuri peran murid-murid Syekh Kuro dalam
proses Islamisasi di Betawi. Murid di sini tidak perlu ditafsirkan secara
harfiah yaitu orang yang belajar secara langsung dengan guru tertentu, namun
mereka yang mengambil peran yang sama yaitu sebagai penyiar Islam, dan
secara historis terhubung. Lewat santri-santrinya yang sebagian berasal dari
kalangan ningrat, Islam dengan cepat menyebar di Tanah Sunda.
Meski Prabu Siliwangi
tetap beragama Hindu, namun iatidak bisa mencegah keturunannya memeluk agama
baru bahkan menyebarkannya.Diperkirakan proses Islamisasi di Betawi dan
sekitarnya terjadi pada abad ke-14 sampai 16.
Kuat masyarakat Betawi
dalam memegang teguh ajaran Islam dikarenakan oleh perkembangan dakwah Islam
yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama dan habaib
terkemuka dalam meyebarkan dan mengembangkan pemahaman tentang ajaran Islam.
Betawi dan Islam memang
merupakan dua sisi dari sebuah mata uang.[12] Peran
Islam yang signifikan dan pengaruhnya pada setiap lini kehidupan masyarakat
Betawi nampak pada peneguhan identitas Betawi dengan Islam yang terlihat jelas
pada proses rekacipta tradisi Betawi yang ramai bermunculan sejak tahun
1970-an.
Dalam proses rekacipta
tradisi Betawi ini nilai Islam semakin ditekankan pada setiap tradisi hasil
kreasi anak Betawi. Berbagai upacara keagamaan, kesenian, dan hiburan
masyarakat Betawi baik yang asli dalam artian tidak dikurangi atau ditambahkan
dengan unsur-unsur luar Betawi, maupun tradisi yang dihasilkan dari proses
rekacipta, kesemuanya itu dapat diterima dan diakui oleh seluruh lapiasan
masyarakat Betawi apabila tidak bertentangan dengan nilai Islam. Masyarakat
Betawi secara aktif hanya menerima, memilih dan mengakui kreasi baru pada seni
dan budaya Betawi yang bernuansa Islam.
2 Kebudayaan
Masyarakat Betawi
Kota
Jakarta yang merupakan daerah komunitas asli masyrakat Betawi dahulu dikenal
sebagai tempat berlabuhnya para saudagar dan pedagang dari berbagai
pelosok nusantara bahkan dari berbagai masyarakat asi (luar Betawi), bahkan ada
diantaranya yang memutuskan untuk menetap di kota ini. Para pedatang tersebut
membawa pula adat-istiadat serta seni budaya dari masing-masing
di daerahnya, sehinnga penduduk Kota Jakarta merupakan masyarakat yang
heterogen. Adat dan budaya luar tersebut sangat berpengaruh pada adat dan
budaya Betawi termasuk didalamnya arsitektur rumah tinggal suku Betawi.
Berkaitan dengan variasi
dalam identitas etnik Betawi pada waktu itu adalah adanya variasi dalam
kebudayaan Betawi. Beberapa tradisi yang berkaitan dengan
upacara-upacara lingkaran hidup, dialek bahasa, ungkapan-ungkapan kesenian, dan
berbagai ungkapan simbolik dalan kehidupan sehari-hari memperlihatkan adanya
variasi-variasi lokal dalam kebudayaan Betawi berdasarkan atas tempat pemukiman
mereka yang berbeda-beda. Secara garis besarnya perbedaan kebudayaan dan
identitas karena perbedaan asal tempat pemukiman tersebut dapat dibedakan
berdasarkan atas penggolongan wilayah Jakarta dalam Jakarta Utara, Selatan,
Timur, Barat, dan Tengah sampai dengan tahun 50-an, variasi kebudayaan dalam
berbagai ungkapannya, diantara wilayah-wilayah Jakarta tersebut masih nampak.
Ditahun-tahun sebelumnya, dan lebih-lebih lagi pada tahun akhir abad ke-19
dimana identitas etnik mulai terbentuk, ungkapan-ungkapan keanekaragaman
kebudayaan tersebut dapat disimpulkan sebagai lebih bervariasi.
Walaupun nampak adanya
berbagai variasi dalam tradisi-tradisi kebudayaan orang Betawi sesuai dengan perbedaan
wilayah di kota Jakarta, tetapi sesungguhnya kebudayaan Betawi
memperlihatkan adanya kesamaan atau keseragaman dalam perbedaan-perbedaan
berdasarkan wilayah-wilayah pemukiman yang berbeda-beda. Keseragaman kebudayaan
masyarakat Betawi terwujud karena adanya tema utama dalam kebudayaan yaitu
Islam, dan karena adanya bahasa dan pola komunikasi yang sama yang berdasarkan
atas bahasa melayu lokal sebagai bahasa pergaulan
sehingga perbedaan-perbedaan yang ada dapat dijembatani dan saling
disesuaikan.
Masyarakat Betawi
merupakan masyarakat Islam
yang sangat taat. Mereka sangat menentang adat dan budaya asing diterapkan di
tengah-tengah lingkungan mereka jika hal tersebut bertentangan dengan
nila-nilai Islam, mereka menyebutnya
sebagai sesuatu yang “bid-ah”[13] atau “haram”[14]. Sebaliknya, mereka sangat antusias menerima suatu
ada yang bernafaskan Islam,
seperti kesenian Rebana Qasidah, Rebana Tempiring dan sebagainya. Meskipun
demikian demikian mereka bukanlah termasuk muslim yang fanatik. Sikap mereka
tetap terbuka dan bertoleransi tinggi terhadap penganut agama lain. Dalam
artian mereka sama-sama tidak menyinggung masalah SARA dalam pergaulannya. Hal
ini berkaitan dengan asal-usul masyrakat Betawi itu sendiri, yang merupakan
hasil percampuran dari berbagai etnis yang berasal dari berbagai pelosok negeri
untuk berdagang atau bekerja di tanah Betawi.
Kebudayaan
orang Betawi ini dikenal melalui bahasa pemersatunya, yaitu bahasa Melayu
Betawi. Bahasa ini lahir dan berkembang melalui proses pengedapaan berbagai
bahasa seperti Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Makassar, Bugis, Cina, Arab,
Belanda, Portugis dan bahasa-bahasa
lainnya.[15] Setiap bangsa memiliki kesenian maupun
kebudayaan tradisionalnya masing-masing Merupakan sebuah kebudayaan yang
dihasilkan melalui percampuran antar etnis dan suku bangsa, seperti
Portugis, Arab, Cina, Belanda, dan bangsa-bangsa lainnya, dan juga
kesenian Betawi merupakan perpaduan seni budaya masyarakat Sunda dan Jawa.
ragam hiasan, seni pertunjukan, corak pakaian, rumah tinggal serta perabot
rumah masyarakat Betawi indah dan menarik.[16] Dari benturan kepentingan yang
dilatarbelakangi oleh berbagai budaya. Kebudayaan Betawi
mulai terbentuk pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai hasil proses
asimilasi penduduk Jakarta yang majemuk. Menurut Umar Kayam, kebudayaan
Betawi ini sosoknya mulai jelas pada abad ke-19. Yang
dapat disaksikan, berkenaan dengan budaya Betawi diantaranya bahasa
logat Melayu Betawi, teater (topeng Betawi, wayang kulit Betawi),
musik (gambang kromong, tanjidor, rebana), baju, upacara perkawinan dan arsitektur
perumahan.
Dalam kebudayaan Betawi
terlihat jelas pengaruh kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa.
Rupanya bahasa Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti
di kalangan masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh Portugis terasa
pula dalam seni musik, tari-tarian, dan kesukaan akan pakaian hitam.
Budaya Portugis ini masuk melalui orang Moor (dari kata Portugis
Mouro, artinya "muslim"). Pengaruh Arab itu tampak dalam
bahasa, kesenian dan tentunya dalam budaya Islam umumnya. Budaya Cina terserap
terutama dalam bentuk bahasa, makanan dan kesenian. Dalam
kesenian, pengaruh budaya Cina tercermin, misalnya pada irama lagu,
alat dan nama alat musik, seperti kesenian Gambang Rancak.
Pengaruh Belanda terasa antara lain dalam mata pencaharian, pendidikan,
dan lain-lain. Hingga saat ini, unsur budaya asing lain dapat
dirasakan di sana sini dalam budaya Betawi.[17]
Ada beberapa seni budaya
masayarakat Betawi antara lain sebagai berikut:
1. Musik
Dalam bidang kesenian,
misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromongyang
berasal dari seni musik Tionghoa,
tetapi juga ada Rebana yang
berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar
belakangPortugis-Arab,
dan Tanjidor yang
berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
2. Tari
Seni tari di Jakarta
merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya.
Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari JaipongSunda, Cokek, tari silat dan
lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan
Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama
juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
3. Drama
Drama tradisional Betawi
antara lain Lenong, Tonil dan Topeng Betawi
atau Topeng Betawi. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan
kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon
jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan
penonton.
4. Cerita
rakyat
Cerita rakyat yang
berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal sepertiSi Pitung,
juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau
si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun
kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau
pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang
menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialahMirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
5. Senjata
tradisional
6. Rumah
tradisional
Masyarakat dan budaya
Betawi, termasuk proses migrasi penduduk serta proses akulturasi kebudayaannya
Artinya, masyarakat Betawi dan kebudayanya merupakan sebuah potret yang ada
dalam lingkaran bingkai kebudayaan nasional. Karena, sedikit banyak, ia telah
memainkan peran pentingnya dalam proses pembentukan dan
perkembangan masyarakat serta kebudyaan di Nusantara ini.
[1] Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan
dan Kehidupan Orang Betawi, Jakarta: Masup Jakarta, 2001. Hal 231
[2] Abdul
Aziz, Op Cit, hal 75
[3] Ibid., hal
29 dan 74.
[4] Ibid. hal
73
[5] Mengenai
kebiasaan ulama Nusantara di Haramain menambahkan nama tempat asal mereka
dibelakang nama diri, lihat Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Akar pembaharuan Islam
Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005.
[6] Hamka, Beberapa
Perhatian Tentang Perkembangan Islam di Jakarta, dalam Ridwan
Saidi, Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, LSIP, Jakarta, 1994,
hal 210.
[7] Ibid,. hal
211
[8] Makna dari
kata bahasa Arab tersebut ialah “saksikanlah bahwa kami adalah
orang-orang Islam”
[9] Yasmin Zaki
Shahab (ed), Betawi Dalam Perspektif Kontemporer, perkembangan, Potensi
dan Tantanga, Kebudayaan Betawi, Jakarta, 1997. Hal 96
[10] Tarekat
secara harfiah berarti jalan, cara atau metode. Dalam
tasawuf istilah ini sampai abad ke-11(5H) berarti jalan yang harus
ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu
berada sedekat mungkin dengan Allah atau berada di hadirat-Nya tanpa dibatasi
oleh hijab (dinding yang membatasi mata batin seseorang dengan
Allah). Jalan tersebut harus melewati sederetan maqam (tahap)
seperti maqam taubat, zuhud, sabar, rida, mahabbah (cinta)
dan ma’rifatullah (mengenal Allah dengan hati nurani). Jika calon sufi telah
mencapai maqam ma’rifatullah maka ia menjadi sufi secara aktual. Tim penulis
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedia Islam Indonesia, Djambatan,
Jakarta, 1992. Hal 927
[12]Yasmine
Z Shahab, Konflik Identitas:Etnis dan Religi, dalam Yasmine Z
Shahab, Identitas dan Otoritas : Rekontruksi Tradisi Betawi (Depok,
Laboratorium Antropologi FISIP UI, 2004) h 119.
[13] Bid-ah
Istilah agamislam untuk menyebutkan bahwa suatu pekerjaan atau suatu benda di
anggap meragukan apakah hal tersebut halal atau haram
[14] Haram adalah
istilah agama islam untuk menyebut bahwa suatu pekerjaan atau suatu benda
dianggap tidak boleh dikerjaan
[15] Danadjaja,j. Manfaat
penelitian folklore Betawi, dalam : Wijaya, H. Seni Budaya Betawi Pra Lokal
Karya Penggalian dan Pengembangannya, Dinas Kebudayaan, Jakarta.
[16] Emot
Rahmat Taendifia, dkk. Gado-Gado Betawi ( Masyarakat Betawi Ragam
Budayanya) Jakarta: Pt.Grasindo. 1996. Hal 15
[17] http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3842/Betawi-Suku di
akses pada tanggal 26 Agustus 2015 01:35 pm
Komentar
Posting Komentar