Kabar Berita Sanggar Fajar Ibnu Sena 20 Januari 2013 •
Topeng Blantek Warisan Betawi Zaman VOC
Lenong, Ondel-ondel, Samrah atau Gambang Kromong mungkin tak asing lagi terdengar di telinga. Kesenian tersebut identik dengan kebudayaan masyarakat Betawi. Namun tahukah Anda, ternyata masih ada satu warisan asli budaya Batavia yang sampai saat ini belum banyak dikenal, yaitu Topeng Blantek yang telah dilestarikan sejak zaman Hindia Belanda, atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sekitar tahun 1648.
001,PESANGGRAHAN
Topeng Blantek sejatinya merupakan kesenian asli Betawi yang belum terafiliasi dengan kebudayaan asing. Kesenian ini berkembang di daerah pesisir Jakarta, seperti Pasar Ikan, Tanjung Periuk. Saat ini, pelestari Topeng Blantek bisa dibilang langka, karena hanya tinggal tiga orang yang memiliki sanggar. Salah satunya Nasir Mupid, pengelola sanggar Fajar Ibnu Sina. Pria berusia 55 tahun itu mulai bergulat di dunia seni dan melestarikan Topeng Blantek sejak 1983. Dia tinggal di Jalan Ciledug Raya, No 88, Ulujami RT02/RW03, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Nasir selama ini menetap di sebuah rumah kontakan satu petak bersama dua anaknya. Rumahnya berada di lorong gang sempit, berjejalan dengan puluhan kontrakan warga pendatang.
Saat ditemui Rabu (17/10) kemarin, dia tampak santai menghisap dalam-dalam sebatang rokok kretek di beranda rumahnya. Meski usianya menginjak senja, namun fisiknya masih tampak bugar. Terlebih, saat diajak membicarakan soal Topeng Blantek, seakan gairahnya kembali muda. Pria beranak empat ini mengaku tidak risau soal kebutuhan dapur, meski pendapatannya dari pentas seni hanya cukup untuk membeli rokok dan kopi. "Sejak muda saya memang sudah menekuni ini, mau apalagi. Kalau saya tinggalkan, siapa yang mau melestarikannya," tukas pria berkulit sawo matang itu.
Awalnya, sekitar tahun 1979 dia belajar Topeng Blantek dari tokoh kesenian betawi, Ras Barkah Saat itu sanggar Topeng Blantek tumbuh subur, jumlahnya mencapai 32 sanggar yang tersebar di Jakarta. Namun, seiring waktu puluhan sanggar itupun "rontok". Sejak itu pula, dia justru mengambil langkah ekstirm dan memutuskan pilihan hidupnya untuk melestarikan seni Betawi. "Akhirnya saya dirikan Lembaga Kesenian Betawi (LKB) dan Sanggar Ibnu Sina dan telah tercatat di Pemkot Jaksel," terangnya. Berbeda dengan era 80an, saat ini sanggar Topeng Blantek hanya tiga, yaitu sanggar Ibnu Sina miliknya, Pangker Group di Kalideres, Jakarta Barat dan satu sanggar di Bogor. Topeng Blantek menurutnya adalah budaya masyarakat Betawi yang cikal bakalnya berasal dari masyarakat Batavia. "Dulu berkembang di sekitaran kastil VOC," katanya singkat.
Pertunjukan Topeng Blantek membutuhkan 25 personel, dengan iringan lagu Gambang Kromong. Pementasannya tak ubahnya Lenong, yang memilki alur cerita, namun memberi kebebasan improvisasi kepada para lakonnya. Di setiap penampilannya, Topeng Blantek hadir dengan tiga sundung dan obor di atas pentas. Satu sundung berukuran besar yang memisahkan panjak (pemain)dengan penonton , dan dua sisanya berukuran kecil sebagai batas panjak yang sedang tampil dengan panjak yang belum tampil, dan batas panjak dengan pemain musik. Pementasan Topeng Blantek yang memakan waktu sekitar 2-3 jam, dibuka dan ditutup oleh Jantuk, semacam Dalang dalam pagelaran wayang. Keseriusannya melestarikan budaya betawi dibuktikannya dengan rutin melatih Topeng Blantek maupun seni drama ke sekolah-sekolah. Tak hanya Topeng Blantek, kecintaannya terhadap Betawi juga diwujudkan dengan melestarikan budaya Betawi lainnya seperti Lenong, Tanjidor, Katimpring.
Dia berharap pemerintah mau ikut peduli dan mendukung semangatnya itu, terlebih saat ini DKI Jakarta dipimpin gubernur baru. "Meski orang Jawa, saya harap Pak Jokowi mau ikut peduli dengan kelestarian kebudayaan Betawi," tandasnya.(*)
Komentar
Posting Komentar